"Outlook UMKM 2025: Tantangan dan Peluang",
Pada tahun 2025, sektor Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) diproyeksikan menghadapi tantangan yang
semakin kompleks di tengah perkembangan ekonomi nasional maupun global.
Dua faktor utama yang akan
berpengaruh besar terhadap masa depan UMKM di Indonesia adalah penurunan daya
beli kelas menengah dan meningkatnya rasio kredit bermasalah (Non-Performing
Loan/NPL) pada sektor ini.
Selain itu, peran Undang-Undang
Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), insentif fiskal, dan
keuangan syariah, termasuk BPR Syariah, KSP Syariah, dan lembaga keuangan mikro
syariah lainnya, diharapkan memainkan peran penting dalam mendukung pengembangan
UMKM.
Insentif pajak yang diberikan
tidak hanya bertujuan meringankan beban UMKM, tetapi juga secara agregat dapat
meningkatkan pendapatan negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kelas menengah telah lama menjadi
penggerak utama konsumsi domestik di Indonesia. Namun, tanda-tanda perlambatan
daya beli kelas menengah semakin terlihat sejak beberapa tahun terakhir.
Menurut data yang dirilis pada
tahun 2024, kelas menengah Indonesia mengalami tekanan akibat inflasi, stagnasi
pendapatan, dan kenaikan biaya hidup yang signifikan. Tren ini diperkirakan
akan berlanjut hingga 2025, yang pada akhirnya menurunkan kemampuan belanja
kelas menengah untuk produk-produk yang dihasilkan oleh UMKM.
Salah satu dampak langsung dari
penurunan daya beli kelas menengah adalah berkurangnya permintaan terhadap
barang dan jasa yang disediakan oleh UMKM. Dengan sekitar 60% dari total
konsumsi domestik berasal dari kelas menengah, penurunan daya beli kelompok ini
akan berimplikasi signifikan terhadap pendapatan UMKM.
Sektor yang paling terdampak
adalah UMKM yang bergerak di bidang perdagangan, makanan dan minuman, serta
fashion---sektor-sektor yang secara tradisional mengandalkan daya beli kelas
menengah untuk keberlanjutan bisnis mereka.
Selain itu, penurunan daya beli
kelas menengah juga dapat memicu penurunan volume penjualan UMKM di pasar
lokal, memaksa banyak pelaku UMKM untuk mencari strategi bertahan, seperti
melakukan diversifikasi produk, memperluas pasar ekspor, atau menyesuaikan
harga produk agar lebih terjangkau. Namun, upaya ini tidak selalu mudah,
mengingat keterbatasan modal, kapasitas produksi, dan akses pasar yang dialami
oleh sebagian besar UMKM.
Meningkatnya Rasio NPL UMKM
Kondisi lainnya yang turut
memberikan tekanan pada sektor UMKM di tahun 2025 adalah meningkatnya rasio
kredit bermasalah (NPL). Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada
pertengahan 2024, NPL sektor UMKM mengalami kenaikan menjadi 2,27%, naik tipis
dibandingkan bulan sebelumnya di angka 2,26%.
Meskipun secara angka kenaikannya
terbilang kecil, tren ini mencerminkan adanya tantangan dalam kemampuan UMKM
untuk memenuhi kewajiban kredit mereka. Rasio NPL yang meningkat ini menandakan
adanya risiko default yang lebih tinggi pada pinjaman yang diberikan kepada
UMKM.
Faktor-faktor yang menyebabkan
peningkatan NPL pada UMKM cukup beragam. Salah satunya adalah terbatasnya
likuiditas UMKM akibat penurunan pendapatan yang disebabkan oleh lemahnya
permintaan pasar.
Di sisi lain, suku bunga yang
cenderung tinggi serta persyaratan pinjaman yang ketat turut menjadi faktor
penghambat bagi pelaku UMKM dalam mengakses kredit baru yang bisa digunakan
untuk memperbaiki arus kas mereka.
Selain itu, peningkatan NPL juga
bisa disebabkan oleh kurangnya manajemen risiko dalam pengelolaan kredit oleh
perbankan dan lembaga keuangan yang menyalurkan kredit kepada UMKM
Keterbatasan akses terhadap
pendampingan usaha dan literasi keuangan di kalangan UMKM sering kali membuat
mereka tidak mampu mengelola pembiayaan secara optimal. Akibatnya, kredit yang
diambil tidak dapat dimanfaatkan secara produktif, yang pada akhirnya memicu
default dan peningkatan NPL.
Peran UU P2SK dan Keuangan
Syariah dalam Pengembangan UMKM
Undang-Undang Pengembangan dan
Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang disahkan pada akhir tahun 2022 memiliki
potensi besar untuk memberikan dukungan signifikan bagi pengembangan sektor
UMKM.
Salah satu poin utama dalam UU
P2SK adalah dorongan untuk memperkuat inklusi keuangan dan akses UMKM terhadap
sumber pendanaan yang lebih terjangkau.
UU ini mendorong pengembangan
model pembiayaan yang lebih adaptif bagi UMKM, baik dari segi permodalan maupun
risiko, dengan menyediakan mekanisme pembiayaan yang lebih ramah risiko,
seperti pembiayaan berbasis ekuitas, crowdfunding, dan pembiayaan berbagi
hasil.
Dalam konteks ini, keuangan
syariah memainkan peran penting, terutama melalui lembaga-lembaga keuangan
mikro seperti Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Koperasi Simpan Pinjam
Syariah (KSP Syariah), dan lembaga keuangan mikro syariah lainnya.
Lembaga-lembaga ini menawarkan
skema pembiayaan berbasis syariah, seperti mudharabah (bagi hasil) dan
musyarakah (kerja sama), yang memungkinkan UMKM memperoleh pembiayaan tanpa
terbebani oleh bunga tetap seperti pada sistem konvensional.
BPRS dan KSP Syariah memiliki
peran strategis dalam menjangkau pelaku UMKM yang berada di daerah pedesaan dan
pinggiran kota yang mungkin kesulitan mengakses perbankan konvensional.
Peran BPRS, KSP Syariah, dan
Lembaga Keuangan Mikro Syariah, BMT
BPRS dan KSP Syariah merupakan
pilar penting dalam pengembangan UMKM, khususnya di sektor mikro yang memiliki
kebutuhan pembiayaan kecil namun tetap memerlukan pendampingan dan
fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan.
Dengan prinsip keuangan syariah
yang mengedepankan etika dan bagi hasil, BPRS dan KSP Syariah tidak hanya
memberikan akses keuangan yang inklusif, tetapi juga membantu UMKM dalam
membangun stabilitas finansial.
Lembaga keuangan mikro syariah
lainnya, seperti Baitul Maal wat Tamwil (BMT), juga berperan dalam memperluas
akses pembiayaan syariah kepada pelaku UMKM, terutama di sektor-sektor yang
sulit dijangkau perbankan besar.
Keberadaan lembaga-lembaga
keuangan mikro syariah ini memberikan alternatif yang sesuai dengan prinsip
syariah bagi UMKM, yang tidak ingin terikat pada skema pembiayaan berbunga.
Dengan demikian, mereka dapat menjalankan bisnis sesuai dengan keyakinan mereka
sambil tetap mendapatkan akses terhadap modal usaha.
Selain itu, kehadiran
lembaga-lembaga ini mendukung inklusi keuangan di Indonesia dengan memberikan
layanan keuangan kepada masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki akses ke
perbankan formal, terutama di wilayah-wilayah terpencil.
Insentif Fiskal dan Pajak
untuk UMKM serta Program Linkage
Untuk mendukung sektor UMKM,
pemerintah telah menawarkan berbagai insentif fiskal dan pajak. Insentif fiskal
yang diberikan berupa pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5%
bagi UMKM, dan subsidi bunga kredit bagi UMKM yang telah disalurkan melalui
program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Insentif ini memungkinkan UMKM untuk
meningkatkan likuiditas mereka, sehingga mereka dapat berinvestasi dalam
inovasi dan ekspansi bisnis.
Selain insentif pajak bagi UMKM,
insentif fiskal juga diberikan kepada bank umum yang terlibat dalam program
linkage, baik dalam bentuk eksekusi maupun channeling dengan BPR, BPRS, KSP,
KSP Syariah, dan lembaga keuangan mikro lainnya.
Bank-bank umum yang
berpartisipasi dalam skema pembiayaan linkage dapat menerima pengurangan pajak
atas pendapatan yang diperoleh dari skema pembiayaan tersebut. Insentif fiskal
ini diharapkan dapat memperkuat kolaborasi antara bank umum dan lembaga keuangan
mikro syariah, sehingga lebih banyak kredit dapat disalurkan kepada UMKM
melalui skema-skema yang lebih inklusif.
Insentif Fiskal untuk
Pertumbuhan Ekonomi: Pendapatan Negara yang Berkelanjutan
Penting untuk dicatat bahwa
pemberian insentif pajak dan fiskal bagi UMKM dan bank umum yang terlibat dalam
program linkage tidak akan mengurangi pendapatan negara secara
signifikan.
Sebaliknya, insentif ini memiliki
potensi untuk meningkatkan pendapatan negara dalam jangka panjang. Dengan
mendorong pertumbuhan UMKM melalui insentif pajak, pemerintah sebenarnya
menciptakan peluang bagi UMKM untuk memperluas skala usaha mereka, menciptakan
lapangan kerja, dan meningkatkan kontribusi terhadap perekonomian nasional.
Secara agregat, pertumbuhan
sektor UMKM yang didorong oleh insentif fiskal ini dapat menghasilkan
peningkatan konsumsi domestik dan aktivitas ekonomi yang lebih besar. Ketika
UMKM berkembang, pajak yang dibayarkan oleh pelaku usaha dan tenaga kerja yang dipekerjakan
juga akan meningkat, sehingga pendapatan negara secara keseluruhan akan
naik.
Selain itu, dengan semakin
banyaknya kredit yang disalurkan kepada UMKM melalui program linkage, kegiatan
ekonomi di sektor mikro dapat berkembang lebih cepat, yang pada akhirnya
mendorong pertumbuhan ekonomi secara makro.
Keuangan syariah juga memiliki
potensi besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Dengan prinsip berbagi risiko dan keuntungan, keuangan syariah dapat menjadi
instrumen untuk memitigasi risiko gagal bayar di kalangan UMKM, sekaligus
memperkuat stabilitas sektor keuangan.
Dengan meningkatnya partisipasi
lembaga keuangan syariah, seperti BPRS, KSP Syariah, dan BMT dalam memberikan
pembiayaan kepada UMKM, sektor ini dapat tumbuh lebih stabil dan berkelanjutan,
yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan negara.
Solusi dan Harapan
Meskipun tantangan yang dihadapi
UMKM pada tahun 2025 terbilang signifikan, masih ada berbagai peluang dan
solusi yang bisa ditempuh untuk memastikan keberlanjutan sektor ini.
Pemerintah, perbankan, dan sektor
fintech harus memperkuat program pemberdayaan UMKM, dengan memfokuskan pada
peningkatan literasi keuangan, manajemen usaha, serta pembiayaan berbasis
digital yang lebih fleksibel.
Selain itu, insentif fiskal dan
pajak yang diberikan kepada UMKM dan bank umum yang terlibat dalam program
linkage, serta keuangan syariah, akan mempercepat pemulihan dan pertumbuhan
sektor UMKM dalam jangka panjang.
Kesimpulan
Outlook UMKM pada tahun 2025 akan
sangat dipengaruhi oleh dinamika daya beli kelas menengah, tren kenaikan NPL,
serta implementasi UU P2SK, insentif fiskal, dan ekonomi syariah.
Penurunan daya beli kelas
menengah berpotensi menekan pendapatan UMKM, sementara meningkatnya NPL
mencerminkan tantangan dalam kemampuan pelaku UMKM untuk mengelola pembiayaan
mereka.
Namun, insentif fiskal, pajak,
serta dukungan keuangan syariah, termasuk peran BPRS, KSP Syariah, dan lembaga
keuangan mikro syariah, tidak hanya akan memperkuat sektor UMKM, tetapi juga
meningkatkan pendapatan negara secara agregat melalui pertumbuhan ekonomi yang
lebih inklusif dan berkelanjutan. Kebijakan ini merupakan investasi jangka
panjang yang akan memberikan manfaat bagi perekonomian nasional secara
keseluruhan.
Tidak ada komentar untuk ""Outlook UMKM 2025: Tantangan dan Peluang","
Posting Komentar